Mendukung Kelanjutan Realisasi Otsus Papua

 


Sejak 2002 Provinsi Papua dan Papua Barat telah memperoleh dana Otsus hingga kini mencapai Rp 126,99 triliun. Karena DAU juga terus meningkat tiap tahun anggaran, dana per tahun yang  mulanya sebesar  Rp 1,38 triliun pada 2002, melonjak mencapai Rp 13,05 triliun pada 2020. Jangka waktu kucuran dana yang diamanatkan UU Otsus tersebut selesai tahun depan.
 
Staf Khusus (Stafsus) Presiden, Billy Mambrasar, yang menilai otsus Papua berhasil meningkatkan pendidikan anak-anak Papua. “Semangat untuk alokasi otsus itu paling tinggi untuk pendidikan, saya berasal dari keluarga tidak mampu tapi bisa menempuh pendidikan tinggi menggunakan dana otsus,” ujar Billy di Jakarta, belum lama ini. 

Billy tidak sendiri. Vanda Astri Korisano dan Martha Itaar, dua putri Papua juga berhasil jadi pilot maskapai nasional Garuda Indonesia setelah berkuliah Nelson Aviation College, New Zealand dibiayai dana Otsus Papua. Ratusan mahasiswa Papua juga saat ini tengah dikirim belajar ke luar negeri dengan dana otsus.

Pada 2020, Pemprov Papua mengucurkan beasiswa dokter spesialis yang menjaring 112 dokter asli Papua. Sementara 471 pelajar SMA juga dibiayai menempuh sekolah tinggi. Program serupa telah berjalan dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, dari total 425 siswa yang lulus beasiswa, 161 diantaranya dibiayai belajar ke luar negeri dan 264 di dalam negeri.

Data-data juga menunjukkan ekses buruk kurang adanya grand design dan tidak seriusnya monitoring evaluasi dan pengawasan terhadap realisasi atau kucuran dana Otsus tergambar secara jelas selama 18 tahun dana Otsus Papua mengucur, namun kurang berhasil menyentuh outcome yang signifikan. Pada 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) masih menempatkan Papua (60,84) dan Papua Barat (64,70) di posisi paling bawah se-Indonesia. Angka itu jauh di bawah rerata nasional senilai 71,92 pada tahun yang sama.

Pada 2020, BPS juga mencatat angka buta huruf di Papua pada usia 15 tahun ke atas mencapai 22,10 persen, turun dari 25,54 persen pada 2003. Penurunan itu tak sebanding dengan kondisi rerata nasional yang turun dari 10,21 persen hingga ke 4,00 persen dalam periode yang sama. 

Menilik angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar, pada 2020 hanya Papua sendirian yang di bawah 90 persen dengan angka 79,34 persen, jauh di bawah rerata nasional sebesar 97,69 persen. Angka itu turun dari 83,86 persen pada 2003 sementara rerata nasional mengalami peningkatan dari 92,55 persen pada tahun yang sama.

Untuk APM pada SMP dan setingkat, di Papua 47,81 persen pada 2003 dibandingkan 63,49 persen rerata nasional. Saat rerata nasional berhasil naik hampir 20 persen menjadi 80,12 persen, AMP tingkat SMP di Papua hanya naik sepuluh persen jadi 57,95 persen. Serupa juga di tingkat SMA, AMP Papua naik 14 persen dari 30,11 persen pada 2003 menjadi 44,31 persen sementara rerata nasional naik 20 persen dari 40,56 persen ke 60,67 persen.

Sementara dalam laporan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang dilansir Kementerian Kesehatan pada 2019 lalu, Papua dan Papua Barat masih nomor buncit. Pada 2018, Papua mencatat IPKM 0,4888 poin sementara Papua Barat mencatat angka 0,5491. Angka itu lebih rendah dari capaian nasional sebesar 0,6087. Kenaikan poin di Papua dan Papua Barat sepanjang lima tahun sejak 2013 juga lebih rendah dari kenaikan nasional. IPKM dihitung berdasarkan sejumlah indikasi. Salah satu penilaiannya datang dari Sub Indeks Pelayanan Kesehatan. Dalam hal ini, Papua dan Papua Barat juga di posisi paling bawah sejak awal penghitungan dengan metode baru pada 2010. 

Pada 2018, skor Papua sebesar 0,3166 dan Papua Barat 0,3724, jauh di bawah rerata nasional pada 0,4398. Merujuk laporan Kemenkes, skor Sub Indeks Pelayanan Kesehatan di Papua adalah yang paling rendah dibanding sub indeks lainnya. 

Sejauh ini, rancangan revisi UU Otsus sudah diserahkan pemerintah ke DPR. Pembahasannya dijadwalkan Januari 2021. Artinya, tahun depan dinamika di Papua akan sangat kental diwarnai isu kelanjutan otsus ini. Jika menengok dinamika serupa menjelang pembentukan UU Otsus, ia menyimpan potensi kerawanan tersendiri. Yang harus dilakukan adalah apakah Komisi II DPR RI ataupun Baleg atau Panja yang akan membahas revisi UU Otsus Papua harus menyelesaikan dengan cara secepatnya, agar ada payung hukum pengucuran dana Otsus, jika tidak maka kelompok separatis akan mendapatkan “pintu masuk” mengacaukan Papua. 

Disamping itu, masyarakat Papua harus yakin bahwa keberlanjutan Otsus ke depan akan lebih baik, karena mekanismenya akan semakin ditata bahkan diperkirakan PP terkait masalah ini akan dibuat sedetail mungkin oleh pemerintah untuk menutup celah dana Otsus yang sangat besar tidak digerogoti oleh oknum-oknum bejat dan tidak nasionalis. Semoga.


Share this:

Post a Comment

 
Copyright © infontbnow. Designed by OddThemes