Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, sempat dianggap sebagai regulasi yang mengganggu demokrasi. Hal tersebut tentu tidak benar karena bagaimanapun juga KUHP tidak memiliki tujuan untuk membungkam demokrasi yang merupakan landasan bagi pemerintahan di Indonesia.
Pendapat bahwa KUHP mengancam aspirasi dan kebebasan berpendapat adalah keliru. Hal itu ditegaskan oleh pihak Kantor Staf Presiden (KSP) yang membantah bahwa anggapan KUHP disahkan untuk menjadi alat kekuasaan pemerintah saat ini guna membunuh demokrasi, merupakan hal yang tidak benar.
Sigit Pamungkas selaku Tenaga Ahi Utama Kantor Staf Presiden, mengatakan bahwa KUHP justru merupakan refleksi dari pengalaman dan harapan demokrasi ke depan.
Dalam kesempatan konferensi pers, Sigit menuturkan, KUHP tidak akan membungkam demokrasi. Formulasi KUHP terkait kebebasan berpendapat merupakan refleksi dari pengalaman bangsa dalam berdemokrasi yang telah lalu sekaligus harapan keadaban berdemokrasi di masa depan.
Menurut Sigit, kebebasan berpendapat saat ini berada dalam situasi yang berbeda dari masa sebelumnya. Karena itu, proses pembaharuan dan pengesahan RKUHP dinilai sudah sesuai dengan aspirasi publik dan mekanisme demokratis yang ada.
Sigit mengatakan dulu kebebasan berpendapat masih dibatasi dengan kontrol terhadap partai, masyarakat sipil dan media. Saat ini, pilar-pilar demokrasi tersebut dibebaskan untuk beraspirasi. Parlemen juga terbuka bagi masyarakat publik. Melalui mekanisme pemilu yang rutin, supremasi sipil juga terjamin. Jadi terlalu berlebihan pandangan apabila KUHP mematikan demokrasi.
KUHP yang baru disahkan ini akan berlaku secara efektif tiga tahun mendatang. Selama masa transisi ini, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada publik serta aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru.
Sementara itu, dalam perspektif geopolitik, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto mengingatkan bahwa pengesahan KUHP adalah bentuk penguatan otonomi strategis Indonesia.
Andi menjelaskan, keinginan Indonesia untuk mengadopsi paradigma hukum pidana modern yang meliputi keadilan korektif, keadilan restoratif, serta keadilan rehabilitatif harus menjadi prioritas baru dalam membangun kolaborasi dengan negara lain.
Kepentingan nasional tersebut bertujuan untuk menjaga iklim demokrasi dan dapat diterjemahkan menjadi sikap Indonesia dalam kerangka hubungan luar negeri. Dengan pengesahan KUHP, tentu saja kebutuhan Indonesia untuk menjaga sendi-sendi demokrasi di tengah merebaknya tren global tentang politik identitas, ujaran kebencian, serta poltik hoaks harus menjadi rujukan utama dalam praktik diplomasi Indonesia.
Sementara itu, pembentukan KUHP yang baru sudah melalui proses panjang. Produk hukum ini merupakan hasil manifestasi dari aspirasi publik yang menyuarakan pentingnya KUHP yang sesuai dengan konteks Indonesia saat ini.
Karena itu sudah pasti, dalam proses pembentukan dan penyesuaian pasal-pasal KUHP tersebut selalu mengedepankan prinsip demokrasi dan juga kemanusiaan.
Apalagi proses pembentukan KUHP selama ini juga turut melibatkan kalangan akademisi yang kredibel, baik secara keilmuan maupun independensi.
Sehingga, adanya tuduhan yang mengatakan bahwa KUHP membahayakan demokrasi dan keselamatan masyarakat tentu saja tidak tepat. Justru di masa berlakunya UU yang ada sebelum adanya KUHP baru lebih berpotensi bertentangan dengan demokrasi dan keselamatan masyarakat tinggi.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa KUHP yang baru saja disahkan bukanlah untuk kepentingan pemerintah saat ini, melainkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Moeldoko dalam kesempatan rapat koordinasi KUHP bersama kementerian/lembaga terkait di Jakarta.
Moeldoko mengatakan, sebagai produk hukum, KUHP mendekonstruksi paradigma hukum pidana menuju keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Oleh karenanya, KUHP merupakan manifestasi dari reformasi hukum yang selama ini diarahkan Presiden Jokowi, terutama dalam hal penataan regulasi hukum pidana.
Dirinya menilai, meskipun memiliki tujuan dan dampak yang mulia, KUHP saat ini menjadi target mispersepsi bahkan hoax, baik dari dalam maupun luar negeri, hal tersebut disebabkan karena belum adanya pemahaman yang jelas di masyarakat.
Oleh karena itu, selama tiga tahun masa transisi, pemerintah akan terus memberikan edukasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mencegah munculnya hoaks di ruang publik dan mispersepsi terhadap pasal-pasal KUHP.
Tentu amat sangat berlebihan jika ada yang berpandangan bahwa KUHP mematikan demokrasi.
KUHP yang baru disahkan tersebut akan menjadi “tinggalan” Presiden Jokowi di mana UU tersebut akan berlaku secara efektif pada tiga tahun mendatang. Sehingga sangat tidak bisa dibenarkan jika KUHP yang baru bertujuan untuk melindungi Jokowi yang pada 2024 akan turun dari kursi Presiden.
Selama masa transisi ini, pemerintah akan terus memberikan edukasi kepada publik aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru.
KUHP akan berlaku pada tahun 2025. UU tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membebaskan nuansa kolonial yang ada pada KUHP yang lama.
KUHP Tidak Untuk Membungkam Demokrasi
KUHP Baru Dinilai Sangat Demokratis dan Junjung Kemanusiaan
Karena berasal dari aspirasi seluruh elemen masyarakat serta rumusan dari para akademisi yang kredibel, maka KUHP baru memang bersifat sangat demokratis dan juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mufti Makarim menjelaskan bahwa memang sejauh ini, secara politik, perancangan dan pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru saja disahkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu telah melalui proses panjang.
Dirinya menambahkan bahwa produk hukum asli buatan anak bangsa itu adalah hasil manifestasi dari aspirasi publik yang menginginkan segera terjadi kontekstualisasi sistem hukum di Indonesia mengikuti jaman saat ini, sehingga menilai sangat penting adanya KUHP nasional.
Maka dari itu, memang seluruh proses pembentukan hingga penyesuaian pasal-pasal dalam KUHP baru itu selalu mengutamakan prinsip demokrasi dan kemanusiaan.
Dengan tegas, dirinya mengungkapkan bahwa KUHP nasional sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi.
Justru, menurutnya, keberlakuan UU buatan kolonial Belanda yang dulu pernah diterapkan jauh lebih berpotensi untuk bertentangan dengan demokrasi, karena buktinya memang berhasil menjadi alat represi pada jaman Orde Baru.
”Justru di masa berlakunya UU yang ada sebelum adanya KUHP baru lebih berpotensi bertentangan dengan demokrasi dan keselamatan masyarakat tinggi. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, KUHP telah banyak digunakan sebagai alat represi. Karena itu, pengesahan KUHP yang baru merupakan babak baru bagi Indonesia yang menandai lahirnya kodifikasi hukum pidana yang aktual,” ucap Mufti Makarim.
Sejauh ini, KUHP nasional yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 lalu, terus mewadahi banyak aspirasi dari berbagai elemen masyarakat.
“Ada berbagai elemen masyarakat dan aspirasi yang telah disampaikan. Tentu proses penetapan berbagai aspirasi tersebut dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan ruang lingkup yang diatur dalam KUHP. Sehingga tidak relevan mengaitkan narasi pasal-pasal KUHP dan akomodasi ruang lingkup pembahasannya dengan isu politik yang konspiratif,” ungkap Tenaga Ahli Utama KSP tersebut.
Bukan hanya sekedar mewadahi aspirasi masyarakat saja, melainkan sejauh ini seluruh proses perancangan KUHP baru juga telah melibatkan banyak sekali kalangan akademisi yang kredibel.
Karena itu, maka tak heran, dalam KUHP nasional ini banyak sekali prespektif dari para akademisi tersebut, yang mana terus berpegang teguh pada kemanusiaan.
”Saya rasa unsur akademisi yang dilibatkan pada pembentukan KUHP memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Sehingga ketentuan yang dirumuskan pada KUHP baru mengandung banyak perspektif dari unsur akademisi yang seyogyanya berpegang teguh bagi kepentingan kemanusiaan,” pungkas Mufti.
Mewaspadai Ancaman Gerakan Radikalisme Jelang Pemilu 2024
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan akan terus mengantisipasi dan meminimalisir kemunculan kelompok-kelompok radikal atau ancaman terorisme menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.
BNPT menyebutkan potensi gerakan-gerakan radikal di Indonesia masih tetap ada hingga saat ini, akan tetapi aparat keamanan akan bekerja lebih keras untuk menjamin kelancaran ajang Pemilu dan pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dalam diskusi Garda Nasionalis bertajuk “Menghadapi Pertarungan Ideologi di Pemilu 2024” Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen (Pol) Ahmad Nurwakhid mengatakan pihaknya sudah membuktikan kinerjanya dalam menjaga dan meminimalisir ancaman terorisme terhadap Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November lalu sehingga pihaknya akan lebih meningkatkan pengamanan jelang Pemilu dan Pilpres 2024.
Hal yang patut diwaspadai dalam suksesi parlemen dan kepemimpinan nasional pada 2024 adalah politik identitas di mana hal ini dapat memicu pemahaman dan gerakan radikalisme-terorisme. Pihak BNPT pun akan terus berupaya melakukan mitigasi dan mencegah sehingga tidak merebaknya politisasi agama atau politik kebencian pada saat penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2024 di antara masyarakat.
Upaya tersebut dilakukan sesuai tugas dan fungsi BNPT yakni merumuskan kebijakan, mengimplementasikan, serta mengkoordinasikan seluruh elemen bangsa dan negara termasuk melakukan diskusi, dialog, atau berkoordinasi dengan partai politik.
Tak hanya itu saja, Nurwakhid menambahkan seluruh elemen bangsa diminta untuk mewaspadai soal potensi peningkatan gerakan-gerakan radikalisme menjelang Pemilu serentak 2024 yang dipicu oleh politik identitas berdasarkan agama. Kelompok-kelompok radikal-teroris ini pastinya akan memanfaatkan momentum Pemilu dan Pilpres untuk memainkan isu agama agar masyarakat tidak terprovokasi dan tidak terpengaruh dengan informasi-informasi palsu atau hoaks di media sosial.
Lebih lanjut, Nurwakhid menegaskan radikalisme dan terorisme merupakan musuh bersama seluruh umat manusia, seluruh bangsa, dan seluruh agama. Oleh karena itu, upaya pemberantasan radikalisme dan terorisme menjadi tanggung jawab bersama dan tidak bisa dibebankan kepada pemerintah saja.
Menurutnya, dibutuhkan peran aktif dan produktif dari seluruh elemen masyarakat untuk selalu melakukan glorifikasi, menjadi influencer bagi perdamaian, menjalin toleransi, persatuan, cinta tanah air dan bangsa, menghormati dan mengamalkan ideologi Pancasila, serta menghayati kebhinekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Wali Kota Malang, Sutiaji meminta kepada anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) untuk menangkal radikalisme terutama saat memasuki tahun politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Menurutnya, pada tahun-tahun politik menjelang Pemilu rawan penyebaran radikalisme dan terorisme di antara masyarakat.
Sutiaji menambahkan perkembangan Teknologi dan Informatika (TI), khususnya dengan adanya media sosial membuat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semakin mudah untuk menyebarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan falsafah negara Indonesia. Sehingga, di sini Linmas berperan sebagai pelindung masyarakat dan diharapkan dapat turut membantu menangkal radikalisme-terorisme.
Namun sebelum itu, seluruh personil Linmas harus teredukasi terlebih dahulu terkait bahaya radikalisme dengan cara diberikan literasi-literasi mengenai masalah paham radikalisme di wilayah termasuk konflik sosial, mudah terhasut, berita hoaks, serta informasi palsu. Tambahnya, edukasi ini akan diberikan oleh TNI, Polri, dan pemerintahan Malang sendiri sehingga harapannya Linmas dapat terbekali dan teredukasi pesan-pesan moral.
Sutiaji mengungkapkan seluruh wilayah di Kota Malang selalu dalam pengawasan terkait menangkal tumbuhnya radikalisme. Misalnya, di Kecamatan Bumiayu pernah tertangkap pasangan suami istri (Pasutri) yang ternyata pelaku terorisme yang pada akhirnya terusir dari Kota Malang. Justru tempat-tempat yang kecil ini tidak menutup kemungkinan mereka (terorisme) tumbuh subur. Kemudian, di wilayah Kedungkandang juga pernah lepas dari perhatian pemerintah di mana Densus 88 Antiteror pernah menangkap jaringan terorisme yang berkembang di sana.
Sutiaji berharap peristiwa seperti ini tidak akan terulang kembali menjelang Pemilu dan Pilpres 2024. Ia mengimbau kepada para anggota personil Linmas apabila mendapati hal-hal yang dicurigai gerakan radikalisme dan terorisme dapat langsung melapor ke pihak Kepolisian atau TNI untuk ditindaklanjuti.
Sementara itu, Bupati Kabupaten Banggai Kepulauan, Ihsan Basir mengemukakan agar berbagai pihak terlibat dalam melakukan optimalisasi pengawasan terorisme sebagai kebutuhan penting demi keamanan dan ketertiban menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Ihsan Basir mengatakan terdapat beberapa kegiatan pencegahan paham radikalisme dan upaya mencegah aksi teror yaitu mengoptimalkan peran gerakan nasional revolusi mental, optimalisasi peran Forum Pembauran Bangsa, dan Forum Kesatuan Bangsa, serta organisasi-organisasi lainnya yang menjadi mitra pemerintah.
Di samping itu, pihaknya bersinergi dengan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang terdiri atas 5 (lima) unsur pemerintah dan 5 (lima) unsur masyarakat serta unit-unit kerja pemerintah seperti Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendeteksi dini kemungkinan adanya penyebaran radikalisme.
Ihsan Basir mengimbau semua pihak bekerja sama mencegah paham radikalisme serta meningkatkan kewaspadaan atas kemungkinan adanya potensi teror di tahun politik dengan terus berupaya membendung informasi-informasi yang bernuansa provokasi dan mengandung isu-isu identitas (SARA) di media sosial.
KPK Telusuri Pembelian Aset Gubernur Papua Lukas Enembe
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pembelian berbagai aset yang dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe. KPK menduga beberapa aset dibeli Lukas dari hasil uang suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Papua.
Pendalaman hal tersebut dilakukan tim penyidik KPK saat memeriksa Mustakim, pihak swasta sebagai saksi pada Kamis (24/11/2022).
"Mustakim (swasta), saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan pembelian berbagai aset oleh LE (Lukas Enembe)," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (24/11/2022).
Tak hanya itu, pada Rabu, 23 November 2022, tim penyidik memeriksa 10 saksi dalam mengusut kasus Lukas Enembe. Mereka adalah Bonny Pirono (Owner PT Tabi Bangun Papua, Direktur Tabi Maju Makmur), Meike (Bendahara PT Tabi Bangun Papua), Willicius (Pegawai PT Tabi Bangun Papua).
Kemudian Okto Prasetyo (Pokja Proyek Entrop Hamadi), Gangsar Cahyono (Pokja Proyek Entrop Hamadi), Arni Paririe (Pokja Proyek Entrop Hamadi), Paskalina (Pokja Proyek Entrop Hamadi), Yenni Pigome (Pokja Proyek Entrop Hamadi), Sumantri (Direktur PT Papua Sinar Anugerah KSO PT Tabi Bangun Papua), dan Giruus One Yoman (Kadis PU/PPK Entrop Hamadi).
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan pelaksanaan proyek pekerjaan di Pemprov Papua," kata Ali.
Sementara saksi lainnya tidak hadir memenuhi panggilan. Mereka adalah Ade Rahmad (Kurir FIT FUN Catring – Ketring Rumahan), Endri Susanto (Pedagang/Pemilik NN aksesories Mobil), Debby Kevin Palisungan (Teller Bank BCA), dan Wedi Bil Padoloan (Teller Bank BCA).
"Keempat saksi tidak hadir dan tim penyidik segera mengirimkan pemanggilan ulang," kata Ali.
Dalam kasus ini KPK menyita uang hingga emas batangan usai menggeledah kediaman Gubernur Papua Lukas Enembe dan sebuah apartemen di Jakarta pada Rabu, 9 November 2022.
Penggeledahan berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur dengan menggunakan APBD Papua dengan tersangka Lukas Enembe.
"Ditemukan beberapa dokumen terkait perkara, bukti elektronik, catatan keuangan, uang cash dalam bentuk rupiah, dan juga emas batangan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (11/10/2022).
Ali menyebut, barang bukti itu disita untuk memperkuat dugaan pidana yang dilakukan Lukas Enembe. Nantinya barang bukti ini akan dikonfirmasi kembali kepada saksi maupun tersangka.
"Segera dilakukan analisis dan penyitaan sebagai barang bukti dalam perkara dengan tersangka LE (Lukas Enembe)," kata Ali.
KPK menyatakan bakal menentukan langkah hukum lanjutan terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek pengadaan infrastruktur dengan menggunakan APBD Provinsi Papua.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, langkah hukum lanjutan akan dilakukan saat KPK selesai menganalisis hasil pemeriksaan kesehatan Lukas Enembe beberapa waktu lalu.
"(Hasil pemeriksaan kesehatan) masih dalam analisis tim penyidik. Untuk segera menentukan langkah hukum berikutnya," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu (9/11/2022).
Sebelumnya, KPK berbicara kemungkinan menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe. Namun demikian, hingga kini KPK masih memeriksa hasil pemeriksaan kesehatan Lukas oleh tim dokter KPK dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"Kalau kemudian pada saatnya memang dibutuhkan ada penjemputan paksa terhadap seorang tersangka, ya, pasti kami lakukan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (8/11/2022).
Ali menyebut, pihaknya masih mendalami hasil pemeriksaan Lukas Enembe di kediamanya di Papua. Diketahui, tim KPK bersama Ketua KPK Firli Bahuri sempat menemui Lukas Enembe pada Kamis, 3 November 2022.
"Tentu kami harus lakukan analisis mendalam bahwa sekali lagi kami tidak ingin melanggar hukum ketika menegakan hukum. Dan yang perlu digarisbawahi bahwa di dalam penegakan hukum itu menjunjung tinggi hak asasi manusia menjadi penting," kata Ali.
Menurut Ali, penjemputan paksa terhadap seorang tersangka bisa dilakukan saat tersangka mangkir dari pemeriksaan tanpa ada keterangan sedikit pun. Namun untuk Lukas Enembe, menurut Ali pihak kuasa hukumnya masih berusaha berkomunikasi dengan tim penyidik KPK.
"Bahwa jemput paksa itu ketentuan normatif di dalam hukum acara pidana, ada ruang untuk itu, di dalam pasal 112 Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP itu ada. Ketika misalnya seorang tersangka mangkir tidak ada sama sekali konfirmasi pada panggilan yang pertama, yang kedua, baru yang ketiganya diambil atau dijemput paksa, itu bisa dilakukan," kata Ali.
"Nah dalam proses ini kan memang kemudian ada ruang diskusi, sekali pun kami selalu mengingatkan saudara penasihat hukum agar tidak membukanya di ruang publik," Ali menambahkan.
Pemerintah Didorong Libatkan Praktisi Hukum Sahkan RKUHP
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menui kontroversi masih menarik perhatian publik, khususnya semenjak Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta agar draft RKUHP dapat segera disosialisasikan di masyarakat. Salah satunya lewat acara diskusi Harmoni Nusantara.
Jubir Sosialisasi RKUHP Kemenkumham, Albert Aries menyebut, dialog publik terkait pembahasan RKUHP dinilai perlu terus dilaksanakan dalam rangka memudahkna masyarakat menerima informasi.
"Dialog publik mengenai RKUHP ini juga untuk memastikan bahwa RKUHP tidak membatasi demokrasi dan memastikan kebebasan berpendapat dan berkespresi diatur secara berimbang," tutur Albert kepada wartawan, Sabtu (13/8/2022).
Menurut Albert, dirinya dan Kemenkumham berupaya ikut terlibat dalam berbagai diskusi demi bisa menjelaskan isu krusial dalam RKUHP. Termasuk soal perlunya partisipasi publik, hingga keunggulan RKUHP sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan yang modern.
"Yang mengusung keadilan restoratif, keadilan korektif, dan keadilan rehabilitatif," jelas dia.
Direktur Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH) Andi Windo Wahidin menyatakan bahwa dirinya mendorong pemerintah dan pihak terkait lainnya agar segera membuka serta melibatkan praktisi hukum dalam pengesahan RKUHP.
"Wet Boek Van Strafrecht KUHP versi lama sudah tidak relevan sangat lama tahun 1915 dan diberlakukan 1918. Baru setelah RUU KUHP bisa disahkan selanjutnya akan merekodifikasi RUU Kitab Hukum Acara Pidananya termasuk tentang alat bukti dan unsur-unsur tindak pidana. Perkembangan teknologi kian hari berkembang pesat. Bagi saya RUU KUHP sudah sejalan dengan perkembangan dan harus segera disahkan," tutur Andi.
Andi menyebut, RKUHP kali ini merupakan hasil atau produk anak bangsa, sehingga mempermudah dalam menjaga keharmonisan demokrasi dan mengikuti perkembangan zaman.
"Jadi mempermudah masyarakat memahami hukum secara luas," ujarnya.
Ketua Harmoni Nusantara, Dodo Baidlowi menekankan bahwa para praktisi hukum perlu menyampaikan ke masyarakat luas terkait RKUHP. Tentunya niatan itu demi meminimalisir disinformasi.
"Dalam forum ini kita sebagai aliansi masyarakat berharap agar tim penyusun atau pihak-pihak terkait dapat menjelaskan kepada kita dan masyarakat luas soal polemik dari draft RKUHP," terang Dodo.
Pasal penghinaan Presiden terhadap Dalam RKUHP Sudah tepat
Usai merebaknya pasal tentang 14 isu kontroversial, pro dan kontra tentang sejumlah pasal dalam Rancana Undang- undang tentang Kitab Undang-undang HukumPidana (RUU KUHP) merupakan dinamika masyarakat sekaligus bentuk kepedulian atas kelahiran produk hukum dalam negeri. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipastikan akan memuat pasal soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej menegaskan, pemerintah tidak akan menghapus pasal tersebut dari draf RKUHP sekalipun menimbulkan perdebatan.
Satu pihak meminta penghapusan pasal tersebut dalam RUU KHPP demi prinsip kesetaraan kedudukan di muak hukum (equality before the law). Mereka jjuga mengkhawatirkan bahwa nantinya rakyat tidak bisa mengkritik dan takut ada anggapan menghina terhadap presiden atau pun wakil presiden Republik Indonesia ini. Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia atau yang sering disebut PSHK termasuk golongan yang menolak adanya rumusan RKUHP tersebut, penolakannya berdasar dengan mempertimbangkan 5 hal yaitu PSHK menilai bahwa “presiden sebagai simbol negara” dan “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah keliru. Karena, perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan. Alasan yang kedua adalah memasukkan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP tidak tepat karena presiden adalah jabatan, dan harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Dalam konstruksi itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Persoalan perihal pantas atau tidaknya cara komunikasi dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang di dalamnya berlaku sanksi sosial, sehingga tidak patut dijerat dengan sanksi pidana. Ketiga, alasan pemerintah bahwa penghapusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden akan menciptakan budaya masyarakat yang terlalu liberal, adalah argumentasi berdasarkan hipotesis yang prematur. Keempat yaitu perubahan pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi dan yang terakhir yaitu tolakan kelima berisi tentang kebijakan perumusan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahan satu butir pasal akan punya dampak signifikan terhadap porsi anggaran kebijakan nantinya.
Jika berbicara tentang kontra tentu ada pula yang pro kepada usulan tersebut. Namun, ada hal yang harus kita sepakati bersama bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum atas penghinaan, termasuk presiden sekalipun. Hal serupa diungkapkan oleh Prof. DR. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., selaku Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur. Prof faisal menyebutkan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 4 Ayat (1) disebutkan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, dalam Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dalam Pasal 13 Ayat (1) disebutkan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul. Selanjutnya, dalam Pasal 1 5 disebutkan bahwa Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Itu semua merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan, dan keagungan/kebesaran dari seorang kepala negara yang notabene kepala pemerintahan. Pernyataan Prof. Faisal juga diperkuat dengan adanya konklusi dari MK yang menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (Contitutional right) yang harus dilidungi. Menghina presiden dan wakil presiben sesuai ketentuan pasal 134 KUHP ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun, sedangkan sanksi maksimal pelanggaran pasal 310 KUHP adalah satu tahun empat bulan; pasal 311 dengan sanksi maksimal empat tahun; pasal 316 dengan sanksi ditambah 1/3 dari pasal sebelumnya.
Penjabaran secara konstitusional telah dilakukan, yaitu perbuatan termasuk menista dengan surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah. Jika menilisik dari azas keadilan, semua orang juga mendapatkan hak serupa. Melihat hal ini, Pencetusan pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden setra wakil presiden di RUU KUHP sudah berada di jalan yang benar mengingat adanya asas kewibawaan dalam kehidupan bermasyarakat. Asas kewibawaan itu tercermin di dalam penghormatan terhadap presiden dan wakil presiden selaku kepala negara. Kita mengakui bahwa terdapat asas kesetaraan di dalam demokrasi yang telah menjadi falsafah bangsa Indonesia. Namun, selain asas kesetaraan, masyarakat juga harus paham mengenai asas kewibawaan. Karena, sebenarnya Pemerintah dapat membedakan antara kritik dan penghinaan.
Tiga Terduga Terorisme Diamankan di Kelurahan Penatoi
Kota Bima, - Detasemen khusus (Densus) 88 mengamankan tiga warga Kelurahan Penatoi, Kota Bima, terkait dugaan terorisme, Minggu (19/06/2022). Penangkapan sekitar Pukul 09 30 hingga 11.00 Wita, di tempat berbeda.
Informasi yang diperoleh media ini, ketiga orang yang diamankan adalah anggota Kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bima. Mereka adalah SLH, penjual sepeda motor, AGS, Penjual Ayam dan Kambing, serta MHDT, Penjual Tahu keliling.
Penangkapan dilakukan di 3 lokasi yang berbeda, dari hasil penggeledahan tersebut di amankan berupa 9 buah BPKB Sepeda Motor,Uang Tunai berjumlah Rp 10 juta, buku catatan kajian Islam, Handphone, Flashdisk,dan Peralatan Komputer. Ada juga diamankan 2 Kg bahan peledak.
Tiga orang terduga teroris tersebut, dua diantaranya adalah Eks Napiter yang pernah menjalani hukuman. Setelah ditangkap tiga orang terduga Teroris langsung di amankan di Mako Brimob Bima.
Sementara itu, Kasi Humas Polres Bima Kota, IPTU Jufrin Rama membenarkan penangkapan ketiga orang tersebut. Hanya saja tidak bisa memberikan keterangan lebih rinci karena kewenangan Mabes Polri.
Pihaknya hanya meminta keterangan saksi warga yang menyaksikan penangkapan tersebut. “Kasus ini ditangani oleh Mabes Polri langsung,” ujarnya, Senin.
Sumber : https://www.bimakini.com/2022/06/tiga-terduga-terorisme-diamankan-di-kelurahan-penatoi/